Haji Widayat

09 Maret 1919 - 22 Juni 2002

Tentang Haji Widayat: Maestro Seni Modern Indonesia

Haji Widayat adalah sosok legendaris dalam dunia seni rupa modern Indonesia. Ia dikenal karena gaya khasnya yang memadukan nilai-nilai tradisional dengan estetika kontemporer. Dijuluki sebagai “Bapak Lukisan Dekoratif”, karya-karyanya merupakan perpaduan antara detail yang rumit, warna yang harmonis, dan narasi budaya yang mendalam.

Dilahirkan pada 9 Maret 1919 di Kutoarjo, Jawa Tengah, dari pasangan Danunoto dan Jumi, Widayat adalah anak pertama dari lima bersaudara dan satu-satunya yang menekuni seni lukis. Bakat seninya tumbuh dari ibunya yang seorang pembatik.

Pengalaman seni lukis Widayat cukup mengesankan. Setelah tamat dari HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Trenggalek pada 1937, ia pindah dan belajar di Bandung, Jawa Barat. Di kota ini, ia bertemu dengan “pelukis hari Minggu” Mulyono, yang kemudian menjadi awal perjalanan karier seni lukisnya.

Pada 1939, Widayat melamar sebagai pegawai kehutanan dan bekerja sebagai mantri opnamer (juru ukur), lalu ditempatkan di Palembang selama kurang lebih tiga tahun. Masa tersebut sangat membekas dalam dirinya, yang terlihat dalam banyak karyanya yang terinspirasi dari alam, hewan, dan tumbuhan.

Saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, Widayat meninggalkan pekerjaannya di hutan karet dan beralih menjadi juru gambar peta rel kereta api Palembang. Pada 1945, ia bergabung dengan Penerangan Militer Chusus (PMC) dengan pangkat Letnan Satu, lalu bergabung dengan Divisi Garuda Sumatera Selatan (1945–1947) sebagai Pimpinan Seksi Penerangan.

Di sinilah ia kembali menyalurkan semangat seninya melalui publikasi poster perjuangan.

Perjalanan Akademik dan Karier

Pada 1950, ketika Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dibuka di Yogyakarta, Widayat menjadi salah satu dari 45 mahasiswa pertama yang diterima. Ia memperoleh rekomendasi dari Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) berkat jasanya sebagai prajurit di Sumatera Selatan.

Rekan seangkatannya di ASRI antara lain Hendro Jasmoro, Abas Alibasyah, Edhi Sunarso, Saptoto, Bagong Kussudiardjo, Gambiranom, Gregorius Sidharta, Abdul Kadir, R. Soetopo, dan H.M. Bakir. Saat itu, ASRI menerapkan “Sistem Proyek Global,” yang memberikan kebebasan penuh kepada siswa dalam praktik berkesenian.

Berkat kerja keras dan bimbingan dosennya, Hendra Gunawan, Widayat menyelesaikan studinya pada 1954. Bersama rekan-rekannya seperti Sayoga, G. Sidharta, Murtihadi, dan Suhendra, ia mendirikan Pelukis Indonesia Muda (PIM) di Yogyakarta—sebuah sanggar seni rupa bagi para seniman. Selain aktif di PIM, ia juga mengajar di almamaternya, ASRI.

Kehidupan Pribadi

Widayat menjalani kehidupan berpoligami. Pada 1942, ia menikah dengan Soewarni, gadis cantik dari Kutoarjo, dan dikaruniai lima anak (dua perempuan dan tiga laki-laki). Pada 1959, ia menikah lagi dengan Soemini dari Purworejo dan memiliki enam anak laki-laki.

Perjalanan ke Jepang dan Koleksi Seni

Pada 1960, Widayat mendapat kesempatan belajar ke Jepang hingga 1962. Di sana, ia memperdalam seni keramik, ikebana, pertamanan, dan grafis. Sepulangnya ke Yogyakarta, ia diangkat sebagai Ketua Jurusan Seni Dekorasi (kini Desain Ruang Dalam) dari 1962 hingga 1983.

Selain aktif sebagai pendidik, ia juga mengoleksi berbagai karya seni dan bereksplorasi dalam seni patung, kriya, serta mixed media. Ia tetap produktif melukis dan mengadakan berbagai pameran hingga meraih banyak penghargaan.

Pendirian Museum

Sejak menjadi pendidik di ASRI, Widayat berobsesi mendirikan museum. Keinginan ini semakin kuat setelah kembali dari Jepang pada 1962. Setelah menjajaki berbagai lokasi, akhirnya pada 1994 museum impiannya berdiri di Sawitan, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Ia meninggalkan studionya di sebelah selatan Stadion Mandala Krida Yogyakarta (kini Mien Gallery, Jl. Cendana 13 Yogyakarta) dan menetap di museumnya di Kota Mungkid.

Akhir Hayat dan Warisan

Pada 1989, Widayat dan Soemini menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebelumnya, pada 1987, istri pertamanya, Soewarni, telah lebih dulu menunaikan ibadah haji. Sejak saat itu, Widayat menambahkan tanda tangan “h. Widajat” (dengan huruf “h” kecil) pada setiap karyanya.

Widayat wafat pada usia 83 tahun, tepatnya pada 22 Juni 2002. Ia dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto Imogiri, Bantul, Yogyakarta, berdampingan dengan kedua istrinya, Hj. Soewarni (wafat 22 Februari 1996) dan Hj. Soemini (wafat 6 September 2000).

Achievement

1952

Penghargaan dari Badan Musjawarat Kebudajaan (BMKM)

1972

Anugerah Seni Art Award dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

1973

Pemenang Pertama Indonesia Biennialle I

1986

Penghargaan Yogyakarta Biennialle

1987

Lempad Prize

1993

Penghargaan Asean Art Award

1994

Penghargaan Budaya Upa Pradana dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah

2002

Satyalancana Kebudayaan